Beritaplus62.com - Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISSES), Bambang Rukminto, turut mengomentari masalah praduga pemerasan yang dilakukan oleh kepolisian.
Diketahui, sejumlah oknum polisi melakukan pemerasan terhadap penonton warga negara asing (WNA) asal Malaysia di konser Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024.
Kasus ini berbuntut panjang hingga dilakukannya pemutasian kepada 34 oknum polisi.
Meski begitu, Bambang menilai eksekusi tersebut tak cukup.
Menurutnya, pimpinan dua tingkat dari anggota polisi yang terlibat juga perlu dikerjakan investigasi.
"Kalau konsisten dengan Peraturan Kapolri 2/2022 wacana pengawasan melekat pimpinan 2 tingkat ke atas juga harus diperiksa dan diberi hukuman sebagai bentuk kelalaian melaksanakan kontrol dan pengawasan," kata Bambang pada Jumat (27/12/2024), dilansir WartaKotaLive.com.
Lalu, lanjut dia, mesti ada sidang instruksi etik terkait pelanggaran tersebut.
"Tindakan Kapolda tersebut (mutasi) pantas untuk diapresiasi, namun tidak cukup hingga di situ saja. Sidang komite isyarat etik dan disiplin harus dilaksanakan dan kalau konsisten ingin membangun kepolisian yang bersih, hukuman maksimal harus dikerjakan selain proses pidana bagi yang terlibat pemerasan."
"Bila tidak dikerjakan hukuman keras berupa PTDH, perkiraan yang timbul adalah kepolisian melindungi personilnya yang melaksanakan pelanggaran pidana pungli dan pemerasan. Ada apa?" urai Bambang.
Hal ini, kata Bambang, perlu dijalankan kalau ingin menjaga marwah pegawapemerintah penegak aturan.
"Selain ini akan mengurangi doktrin publik baik dalam negeri maupun aneh, hukuman yang tak membuat efek jera juga akan menurunkan spirit anggota yang masih tegak lurus menjaga etik, sopan santun dan disiplin," tegas Bambang.
Kesaksian WN Malaysia yang Jadi Korban
Melalui akreditasi salah satu korban pemerasan, Amir Mansor (29), awalnya ia tidak mengetahui ada sejumlah polisi menghampirinya.
Kala itu, Amir gres saja memesan layanan taksi daring lewat ponselnya sehabis menonton DWP 2024 malam pertama.
Amir beranggapan demikian karena orang-orang itu berpakaian bebas dan tidak menawarkan tanda pengenal selaku polisi maupun surat izin penggeledahan.
"Awalnya saya kira mereka adalah driver ojek online yang sedang mencari konsumen. Mereka memanggil sahabat saya yang berlangsung dengan saya."
"Mereka menggeledah sahabat saya, lalu saya menanti sahabat saya alasannya adalah saya sudah memesan taksi online untuk pulang bareng ."
"Mereka (polisi) lalu ikut menawan saya, memeriksa dompet dan barang-barang saya," terang Amir pada Jumat (27/12/2024).
Dia juga melihat polisi melakukan hal yang serupa kepada sejumlah pengunjung DWP lainnya secara acak.
Mereka kemudian dikumpulkan dan dibawa ke Polda Metro Jaya.
Sesampainya di kantor polisi, Amir mengaku diminta melaksanakan tes urine.
Bahkan, ponsel mereka disita dan tak dibolehkan menghubungi siapapun, tergolong pengacara atau Kedutaan Besar Malaysia.
"Mereka cuma mengijinkan kami menelepon keluarga kami, tapi mereka memonitor komunikasi kami, lalu menguras kembali ponsel kami."
"Mereka juga tidak membolehkan kami menunjuk pengacara. Mereka memaksa kami menandatangani surat penunjukan pengacara yang sudah mereka tentukan," terperinci Amir.
Amir dan rekan-rekannya pun menghabiskan waktu hampir dua malam di kantor polisi.
"Sebagian dari kami aktual dan sebagian yang lain negatif. Tapi, walaupun hasil tesnya negatif, mereka tetap mengunci kami di kantor mereka."
"Mereka bilang alasannya adalah kami tiba sama-sama, walaupun sebagian (hasil tes urine) negatif, kami diminta mengaku salah dan membayar untuk mampu bebas," kata Amir.
Amir mengklaim beliau dan delapan orang temannya diminta membayar Rp800 juta untuk bisa bebas.
"Padahal tidak didapatkan barang bukti apapun pada kami, cuma tes urine sebagian dari kami hasilnya nyata."
"Kami harus membayar Rp800 juta, walaupun hasilnya negatif, kami tetap harus bayar," jelasnya.
Amir mencoba menawar nominal duit yang harus dibayarkan.
Akhirnya, mereka mengeluarkan uang sekitar RM100.000 (sekitar Rp360 juta) dan jadinya dibebaskan pada Minggu (15/12/2024) siang.
Selama diamankan kepolisian, Amir mengaku hanya diberi makan satu kali.
Dia mengaku melihat banyak orang bernasib sama.
"Ada orang-orang Indonesia, Singapura, dan Taiwan."
"Ada beberapa yang diperlakukan lebih buruk dari kami. Ada orang Taiwan yang diletakkan di sel karena kantor mereka sudah penuh dengan kami," sambung Amir.